12 Januari 2009

Gereja dan Krisis Moral di Barat

oleh: Gabriel R.M.W/x-6/18

Spanyol dan Kanada mengesahkan undang-undang yang menghalalkan perkawinan kaum sejenis, meski agama mereka, Kristen melarangnya. Krisis moral dan peran gereja di Barat goyah. Pengaruh liberal?

Baru-baru ini parlemen Spanyol mengesahkan undang-undang yang melegalkan perkawinan sejenis. Pengesahan undang-undang ini sontak menuai badai protes dari gereja dan berbagai kalangan. Pada kesempatan kali ini, kami mengajak Anda untuk menyimak sebuah ulasan mengenai krisis moral dan peran gereja di Barat.

Gereja sebagai lembaga resmi agama Kristen tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap langkah sejumlah negara Eropa yang mengesahkan praktik amoral.

Dalam dua pekan terakhir, terjadi dua peristiwa besar di dua negara yang dikenal sebagai pusat Katolik, yaitu Italia dan Spanyol, yang melibatkan gereja dan para tokoh agama.

Di Spanyol, Dewan Keuskupan menyeru warga untuk ikut memprotes draf pemerintah yang melegalkan perkawinan sejenis. Sedangkan di Italia, Vatikan mengajak masyarakat luas untuk memboikot referendum yang akan dilangsungkan pemerintah berkaitan dengan liberalisasi undang-undang No. 40 yang membatasi secara ketat proses rekayasa pembenihan anak.

Dalam dua kasus ini, gereja mempertontonkan kemampuannya mengerahkan massa untuk memprotes kebijakan pemerintah Italia dan Spanyol yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral.

Di Spanyol, ratusan ribu massa turun ke jalan-jalan memenuhi panggilan gereja. Sedangkan di Italia, berkat seruan boikot itu, referendum hanya diikuti oleh 26 persen warga yang memiliki hak pilih. Tentunya dengan partisipasi yang kecil seperti ini, referendum terancam gagal. Fakta yang terjadi di Spanyol dan ltalia menunjukkan bahwa gereja masih memiliki pengaruh yang besar di tengah masyarakat Eropa.

Seperti diketahui, pasca gerakan renaissance, peran gereja Katolik secara praktis telah tersingkirkan dan negara-negara di Eropa jatuh ke tangan orang-orang liberal yang menolak keterlibatan agama dan agamawan dalam kegiatan politik, ekonomi bahkan sosial dan kebudayaan. Kini setelah beberapa abad berlalu dari era itu, gereja kembali menunjukkan sikapnya yang berseberangan dengan kebijakan para politikus dan pemerintah di sejumlah negara Eropa.

Dalam dua kasus yang disebutkan tadi, pemerintah Spanyol dan Italia bagai kebakaran jenggot menyaksikan penentangan gereja tersebut. Mantan presiden Italia, Oscar Luigi Scalfaro dalam reaksinya mengatakan, “Gereja hanya bertugas memberi nasehat kepada umat dan tidak berhak untuk mencampuri urusan perundang-undangan di Italia. “

Secara umum, faktor yang mendorong gereja untuk mengambil sikap keras dan tegas dalam dua kasus tersebut adalah kekhawatiran para agamawan Katolik akan kian melemahnya peran mereka di tengah masyarakat. Pasca renaissance, gereja berubah menjadi sebuah lembaga sosial yang hanya berwenang mengurusi masalah moral dan agama dalam bentuknya sebagai kegiatan individu semata.

Peran para pendeta dan pastor juga berubah menjadi hanya para pemimpin doa bersama, pembaca akad perkawinan, dan pemimpin acara penguburan. Peran yang sudah kecil ini semakin dikerdilkan oleh pemerintah di sejumlah negara, semisal Spanyol dan Italia, yang mengesahkan undang-undang yang bertentangan dengan moral dan etika.

Di era pasca renaissance, dengan berkuasanya sistem liberalisme ekonomi dan politik di Barat, muncul pula arus liberalisme budaya. Negara-negara Barat telah berubah jauh dengan keberhasilannya meraih kemajuan pesat di berbagai bidang. Kesejahteraan di negara-negara ini juga jauh melebihi negara-negara lain.

Keperkasaan inilah yang lantas mengubah negara-negara Barat menjadi kekuatan imperialis yang selama beberapa abad melakukan penjajahan di berbagai kawasan dunia dan merampok kekayaan bangsa-bangsa lain. Kesejahteraan bangsa Eropa Barat yang diperoleh dengan memanfaatkan kelemahan dan keterbelakangan bangsa-bangsa lain di dunia, telah mengubah tatanan sosial di Barat yang berbuntut pada perubahan nilai-nilai moral dan etika.

Budaya Barat saat ini telah menyatu dengan budaya yang tidak terkontrol. Manusia di Barat tidak berhadapan dengan batasan-batasan untuk mengecap kenikmatan di luar etika. Sayangnya, rezim-rezim di Barat bukan hanya tidak membatasi praktik asusila warganya, tetapi malah ikut memberikan label resmi pada praktik-praktik semacam ini.

Praktik homoseksual yang pada beberapa dekade lalu dipandang sebagai praktik menjijikkan dan pelakunya pasti akan dikucilkan oleh masyarakat, kini didukung oleh pemerintah dan mendapat pengesahan.

Di Barat, setiap tahunnya pada hari-hari tertentu, kaum gay dan lesbi dengan turun ke jalan-jalan, menuntut pengakuan hak-hak mereka secara resmi dari pemerintah. Dekadensi moral yang di Barat sudah sedemikian parahnya, sehingga sejumlah tokoh politik dan pemerintahan tidak lagi merasa risih untuk mengaku bahwa dirinya adalah seorang homoseksual.

Layak dicatat bahwa kondisi ini bahkan telah merambah negara-negara dengan jumlah pemeluk agama Katolik di atas 90 persen. Jelas, kondisi ini dipandang gereja sebagai tanda-tanda buruk yang harus segera ditangani, sehingga memaksa gereja untuk mengambil sikap tegas meski sikap itu dinilai bertentangan dengan wewenang lembaga keagamaan di Barat.

Amat disayangkan, gereja Katolik terkesan lamban dapat bersikap menghadapi krisis moral di Barat. Meski berhasil menggalang ratusan ribu umat untuk turun ke jalan menentang undang-undang perkawinan kaum homoseksual, namun nampaknya, gereja tidak akan mampu menghentikan laju keruntuhan sendi-sendi moral di Barat.

Sebab, opini umum di Barat sudah tidak lagi memandang hal ini sebagai penyimpangan etika, tetapi hanya sebuah masalah yuridis yang harus dicarikan penyelesaiannya. Pertanyaan yang ada di tengah masyarakat Barat adalah, “Hak apa yang dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang? Artinya, apakah secara hukum, pasangan homoseksual memiliki hak layaknya pasangan suami istri?”

Meskipun pemerintah Barat tidak kunjung menyadari betapa besar dampak dari dekadensi moral, namun kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Barat sudah cukup menderita akibat sikap hidup yang bebas tanpa batas ini. Kejahatan, obat bius, prostitusi, penyakit AIDS, penyakit kejiwaan, anak-anak yang lahir tanpa bapak, adalah di antara dampak-dampak mengerikan dari kebobrokan moral.

Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat Barat membuka diri dan kembali pada nilai-nilai moral. Sebaliknya, gereja pun harus secara tegas dan berkesinambungan menjalankan perannya sebagai penunjuk arah bagi bagi masyarakat Barat, agar mereka bisa menemukan kehidupan yang selamat. (ulasan radio irib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar